SELAMAT DATANG DI ALAM MAYA ALFIKAR...

Rabu, 07 Oktober 2009

Pesan Illahi dalam Waktu Gempa Padang

October 5, 2009 · Posted in Suara Pembaca

Subhanallah. Sungguh di balik semua kejadian ada hikmah di baliknya. Begitupun gempa yang meluluhlantakkan Kota Padang dan sekitarnya.

Jika kita telusuri waktu terjadinya gempa Padang, berdasar catatan waktu kejadian yang dilansir Kompas, 1 Oktober 2009 bahwa gempa pertama terjadi pada pukul 17.16 WIB. Sedangkan gempa susulan terjadi pada pukul 17.38.

Saudara, marilah sejenak kita cermati dalam Al Qur’an. Jam menunjukkan nama surat, dan menit menunjukkan ayat. Jika kebetulan Al Qur’an terjemahan yang dilihat adalah terbitan Asy Syamil maka akan jelas alur pesan-pesan Illahi tersebut.

Dalam sudut pandang kausalitas, sebab-akibat, waktu gempa pertama menunjukkan Akibat (QS. 17:16) dan waktu gempa susulan menunjukkan Sebab (alasan terjadi)–(QS. 17:38).

Dalam Surat Al Isra’ ayat 38 ini pada catatan kaki, diterangkan uraian-uraian “kejahatan” manusia yang kita sadari wujud dan intensitasnya makin sering kita temui di tengah masyarakat kita.

Ala kulihal, marilah kita renungkan pesan Illahi tersebut. Mengapa Padang? Saya yakin, mereka para korban baik yang meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan adalah pihak-pihak yang dipilih Allah. Mereka adalah orang-orang yang kuat, tabah dan sabar. Allah tidak akan menimpakan cobaan melebihi kemampuan umat-Nya.

Dus, untuk terakhir kalinya, mari kita doakan mereka yang telah menjadi korban dan bangun solidaritas sekemampuan kita.

Wallahu’alam bishawab.

Agung Budiono (em)

sumber:
http://mediaislam.oaseadwan.info/pesan-illahi-dalam-waktu-gempa-padang/

ZOROASTERIANISME

A. SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA ZOROASTER
Zoroasterianisme adalah agama persia kuno, yang mengajarkan bahwa segala yang ada terlibat dalam perebutan yang tak henti-hentinya antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan. Zoroasterianisme berlandaskan pada ajaran Zarathustra, seorang nabi Persia yang dikenal di negara Barat sebagai Zoroaster. Kelahirannya diperkirakan pada jenjang waktu yang cukup jauh, yaitu antara 1200 dan 600 SM. Akan tetapi yang mendekati ialah sekitar tahun 1000 SM. Dewasa ini Zoroasterianisme menyatakan bahwa pengikutnya ada sekitar 200.000 orang, komunitas utamanya berada di Iran dan India.
Meskipun Zoroatrianisme punya macam-macam elemen yang serupa dengan agama-agama Iran yang lebih lama, tapi tak tampak tersebar luas di masa Zoroaster sendiri, daerah tempat dia hidup kait-berkait bersama dengan Kekaisaran Persia di bawah Cyrus Yang Agung di pertengahan abad ke-16 SM pada saat matinya Zoroaster. Dalam masa dua abad kemudian, agama itu diterima oleh Raja-raja Persia dan memperoleh pengikut yang lumayan. Sesudah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung di akhir pertengahan abad ke-4 SM, agama Zoroaster mengalami kemunduran deras. Tapi, akhirnya orang-orang Persia memperoleh kemerdekaannya kembali, pengaruh Hellenistis merosot, dan ada semacam kebangkitan kembali Agama Zoroaster. Di masa dinasti Sassanid (226 - 651 M) agama Zoroaster diterima sebagai agama resmi negeri Persia.
Sesudah ditaklukkan Arab di abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam (dalam beberapa hal dengan kekerasan, walau pada prinsipnya kaum Muslimin punya sikap toleran kepada agama lain). Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia. Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Walaupun deikian Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu.
B. KITAB SUCI
Kitab suci dalam agama zoroasterianisme bernama Avesta, berasal dari akar kata Avistak yang berarti bacaan, sebagaimana arti Taurat dan Alquran dalam agama Yahudi dan Islam. Sedangkan pengertian lanjutan dari Avesta itu bermakna pengetahuan. Sebagaimana alkitab (Babilia) yang merupakan kumpulan kitab suci agama Yahudi yang terdiri atas 36 kitab, maka kitab suci Avesta pun pada mulanya terdiri dari 21 buah kitab, tetapi saat ini hanya tinggal 5 kitab saja, yaitu Yasna, Vispered, Vendibad, Yasht, dan Khorda Avesta.
• Yasna
Kitab Yasna berisikan himpunan nyanyian pujaan (Hymns) untuk keperluan kebaktian, kitab tersebut terdiri dari 72 bait haiti (fasal) dan semuanya terbagi atas tiga bagian:
1. Bagian Pengantar, Yaitu pasal 1 – 27, tentang minuman suci yang disebut Hooma (Hom) Yaght. Fasal 12 berisikan bunyi pengakuan keimanan (credo=syahadat) dan merupakan dokumen bernilai bagi sejarah peradaban).
2. Gatha’ ialah fasal 28 – 54, berisikan bimbingan dan tuntunan terpanjang wahyu kepada sang Nabi.Gatha’ inilah yang dipandang sebagai paling utama didalam semua kitab suci Avesta karena masih memperlihatkan ungkapan-ungkapan tua menurut gaya bahasa Iran tua. (Dengan mengambil contoh Indonesia, kitab tersebut diumpakan sebuah buku berbahasa Indonesia tetapi ada bagian yang dapat dijumpai ungkapan-ungkapan Melayu tua)
3. Apero Yasno atau Yasna – “Belakangan”, ialah fasal 55 – 72, berisikan himpunan nyanyian pujaan terhadap kodrat-kodrat gaib, terdiri atas
a. Sraosha (Srosh) Yasht, fasal 57
b. Pujaan terhadap api, fasal 62
c. Pujaan terhadap air, fasal 63 – 69.
d. Pujaan terhadap Kodrat-kodrat lainnya
Kodrat-kodrat gaib itu dipandang menguasai unsur-unsur alami dan disebut ahuras, sesuai dengan namanya maka bagian ini adalah sisipan belakang, tetapi dalam perkembangan agama Zoroasterianisme, kitab bagian ini yang dianggap paling utama dan menjadi dasar bagi pegangan-pegangan keyakinan agamawi.
• Vispered
Kitab Visperes bermakna kodrat-kodrat terkemuka (Vispe ratave), berisikan pembahasan tentang gaib yang dipandang paling terkemuka dan semuanya tunduk kepada kodrat tunggal Maha Bijaksana (Ahura Mazda). Kitab ini pun berisikan himpunan nyanyian permohonan dan merupakan kitab kecil tentang kebaktian, 24 buah karde (anak – pasal). Isi dan bentuknya mirip dengan Yasna dan mrupakan kitab kebaktian tambahan.
• Vendidad
Vendidad berasal dari singkatan Vi – daevo – datom dengan sedikit perubahan bunyi, yangmempunyai makna “hukum menantang Setan”. Kitab Vendiddad itu berisikan hukum-hukum agama terdiri 22 buah bab, bernuala tentang kejadian alam yang dualistik (bab I), dan tentang kejadian manusia pertama yang bernama Yima (bab II), kemudian dilanjutkan 20 bab tentang kumpulan hukum-hukum agama dan berbagai macam maslah yang menyangkut:
1. Hukum-hukum dalam bidang pertanian
2. Hukum-hukum dalam bidang Peternakan
3. Hukum-hukum tentang benda suci: bumi, air, api,
4. Hukum-hukum tentang pembersihan tubuh,
5. Hukum-hukum tentang pemurnian diri,
6. Hukum-hukum tentang tata bakti kepad Ahura Mazda,
7. Hukum-hukum tentang Taubat.
Seluruh hukum-hukum yang termuat dalam kitab Vendidad seluruhnya bertitiktolak pada sebuah doktrin yang paling pokok, yaitu: Perang terhadap Angro mainyu dan seluruh kodrat-kodrat jahat dalam pelaksanaan kebaktian terhadap Ahura Mazda. Kodrat-kodrat gaib yang jahat dan memiliki dayagoda dinamakan Daevas, dan semianya tunduk kepada Angro Mainyu.
• Yasht
Kitab Yasht berisikan kumpulan nyanyian – keagamaan terhadap para Izad, yaitu kodrat-kodrat gaib yang termulia, berisi 21 buah nyanyian pujaan, merupakan kumpulan tambahan bagi kiab Yasna, dan sebagian dari kitab Yasht masih memperlihatkan ungkapan-ungkapan Iran tua yang dipandang bentuk tua dan asli.
Pasal 9 – 10 berisikan sajak agamawi bermutu tinggi peninggalan Iran tua, Yasht dipandang yang terbesar, kaya dengan kisah – kisah keagamaan dan sejarah. Adapun pasal-pasal lainnya berisikan kisah-kisah penuh corak dan warna tentang ahuras dan daevas disertai dengan kisah-kisah berisikan kiasan. bab yang dianggap paling penting ialah tentang kisah nabi terbesar yaitu Zarathustra serta ajarannya tentang akhir alam semesta (eskatologi) dan peradilan terakhir di Ahura Mazda.
• Khorda Avesta
Kitab Khorda Avesta bermakna Avesta – kecil. Berisikan nyanyian agamawiberbentuk singkat untuk digunakan seluruh orang beriman dari kalangan awam, di dalam kebaktian sehari-hari.
C. AJARAN, KETUHANAN, ESKATOLOGI
Dua prinsip membentuk dasar dari etika Zoroaster : pemeliharaan hidup dan perjuangan melawan kejahatan. Untuk dapat memelihara hidup, seseorang harus menggarap tanah, memelihara hewan, kawin dan mempunyai anak. Asketisme dan selibat (tidak menikah) dikutuk; kesucian dan menghindari kekotoran (dari kematian, roh jahat dll) dihargai. Dalam rangka memerangi kejahatan, manusia harus setiap saat menentang kekuatan-kekuatan jahat dan mereka yang berteman dengan kejahatan itu. Zoroastrianisme menekankan monotheisme, sementara mengakui adanya pertentangan universal dari dua kekuatan yang berbeda (dualisme). Kekuatan baik dipimpin oleh Ahura Mazda, atau Ormazd (Tuhan yang Bijaksana), dan kekuatan jahat dipimpin oleh Angra Mainyu atau Ahriman (Roh Jahat). Dalam konsepnya Zoroaster, harus ada penyatuan antara kejahatan dengan kebaikan abadi Tuhan. Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa proses penyatuan kebaikan dan kejahatan itu tidak dipahami sebagai aktivitas yang mandiri, melainkan dua aspek dari Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain, konflik tersebut adalah perjuangan Tuhan melawan diri-Nya sendiri. Jadi dapat dikatakan secara teologis bersifat monistis dan secara filosofis bersifat dualis.
Dalam menjelaskan konsep monistik, Zoroaster menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan sejati, Ahura Mazda, penganjur kebaikan. Tetapi pengikut Zoroaster meyakini adanya ruh jahat, yaitu Ahriman, sebagai simbol dari kejahatan. Bagi mereka, alam semesta merupakan ajang pergulatan antara kebaikan dan kejahatan, keadilan dan kezhaliman, serta antara kegelapan dan cahaya terang. Dan pertarungan sengit ini harus dimenangkan oleh kebaikan, keadilan dan cahaya.
Adapun manusia, sebagai mikrokosmos bergulat dengan dua kekuatan dalam dirinya. Manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan, bebas berpihak. Manusia memiliki freedom of choice. Gelap vs Cahaya Terang. Konsep ini rupanya mempengaruhi pemikiran Syaikh al-Isyraq, Suhrawardi, khususnya mengenai konsep cahaya dan gelap. Namun tidak sama persis. Jika dalam Zoroaster, gelap dan terang seolah-olah dipisahkan oleh garis tegas yang mengindikasikan keterputusan hubungan, maka tidaklah demikian dengan konsep gelap-terang Suhrawardi. Dalam filsafat iluminasi ini, konsep garis-terang digambarkan sebagai rangkaian intensitas dari terang menuju gelap, dimana semakin jauh dari cahaya maka semakin redup akhirnya gelap.
Teologi Zoroaster merupakan campuran menarik antara monotheisme dan dualisme. Menurut Zoroaster, hanya ada satu Tuhan sejati yang disebutnya Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz). Ahura Mazda ("Tuhan yang bijaksana") menganjurkan kejujuran dan kebenaran. Tapi, penganut Zoroaster juga percaya adanya roh jahat, Angra Mainyu (dalam istilah Persia modern: Ahriman) yang mencerminkan kejahatan dan kepalsuan. Dalam dunia nyata, ini perlambang pertentangan abadi antara kekuatan Ahura Mazda di satu pihak dan Ahriman di lain pihak. Tiap individu bebas memilih ke mana dia berpihak, ke Ahura Mazda atau ke Ahriman. Meskipun pertarungan kedua belah pihak mungkin dekat pada suatu saat, penganut Zoroaster percaya bahwa dalam jangka panjang kekuatan Ahura Mazda akan keluar sebagai pemenang. Teologi mereka juga termasuk keyakinan penuh adanya hidup sesudah mati.
Eskatologi berasal daribahasa Yunani, eschatos yang berarti akhir keseluruhan. Eskatologi adalah ajaran atau doktrin tentang akhir segala perkara, tentang maut, tentang kebangkitan kembali, tentang peradilan terakhir, dan tentang hidup kekal selanjutnya. Dalam zoroaasterianisme dinyatakan bahwa menjelang alam semesta mengalami hari terakhir atau kiamat akan muncul tiga juru selamat, yaitu : Aushedar, Aushedar – Mah dan Shayoshant. Kedatangan juru selamat yang terakhir itu akan akan memusnahkan kelaliman dan mengakkan keadilan hingga terbangun kerajaan Ahura Mazda di muka bumi, selanjutnya akan berlangsung pemerintahan selama seribu tahun dan dan setelah itu barulah alam semsta mengalami kehancuran terakhir atau kiamat.
D. RITUAL AGAMA
Penganut Zoroaster melaksanakan pelbagai ibadah agama yang menarik, beberapa di antaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar di kuil Zoroaster. Terkait dengan api, Zoroastrian menyembah Ahura Mazda sebagai tuhan cahaya. Api suci dinyalakan sebagai simbol cahaya Ahura Mazda. Keberadaan api ini terkait dengan proses penyucian jiwa. Terlalu sederhana jika dikatakan begitu saja bahwa mereka penyembah api. Tapi, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenasah, bukannya dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. (Burung-burung itu biasanya melalap mangsanya hingga tinggal tulang melulu dalam tempo beberapa jam).

wallahu a’lam..



DAFTAR PUSTAKA

Keene, Michael, AGAMA – AGAMA DUNIA, (Yogyakarta: Kanisius), 2006, cet. V
Sou’yb, Joesoef, AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA, (Jakarta: Pustaka Al-husna) 1983, cet. I

http://amuli.blogspot.com/2007/10/zoroaster-dan-prinsip-kemahdian.html
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/148.htm
http://azibrajaby.blogspot.com/2009/03/zoroaster-dan-zoroastrianisme.html

Senin, 15 Juni 2009

KEKUATAN AGAMA

Pendahuluan
Menurut Talcott Parsons, dalam masyarakat multi-religius proses-proses politik yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan perkembangan.
Situasi seperti itu mendorong lahirnya model keberagamaan yang terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Inilah yang kini dinikmati negara-negara maju dengan tingkat demokrasi yang stabil. Mereka tidak lagi diganggu konflik yang dipicu sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan. Agama-agama telah menempati ruangnya yang pas, sehingga tidak menimbulkan gesekan dan benturan dengan pandangan-pandangan profan.
Barangkali suatu truisme dalam perbandingan sosiologi sejarah, bahwa agama dalam pasca-pencerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, kecenderungan yang kian meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat, dan bukan tatanan politik publik.
Tendensi seperti itu tentu tidak dapat dikatakan khas Eropa modern dan Kristen Barat. Sebab, manakala muncul upaya-upaya menggiring agama ke ruang publik di banyak negara Dunia Ketiga, utamanya negara-negara Islam, yang terjadi adalah politisasi agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan non-agama.
Akibatnya, terjadi benturan agama dengan paham dan ideologi profan, sehingga agama bukan hanya menjadi variabel pembeda, tetapi secara signifikan juga menyumbang munculnya kekerasan dan ketegangan sosial. Dalam situasi seperti itu, tak terelakkan terjadinya "publikisasi hal-hal privat" dan "privatisasi masalah-masalah publik". Keduanya mengikis garis yang memisahkan agama dari politik. Dan selanjutnya, dari permasalahan-permasalahan tersebut seakan terjadi peralihan-peralihan nilai dan sikap dari orientasi keagamaan tradisional kepada pengalaman-pengalaman politik pada saat politisasi terjadi, dan sebaliknya, peralihan nilai-nilai politik kedalam wilayah keagamaan.
Pengaruh agama dalam politik
Tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat lebih memperjelas nilai-nilai secara eksplisit daripada aspek-aspek apa pun dalam budaya masyarakat secara umum. Akan tetapi disini pernyataan tersebut harus diartikan bahwa agama merupakan salah satu diantara berbagai sumber sikap dan nilai yang penting, yang menunjang budaya politik.
Menurut Saiful Mujani, para ilmuwan sosial terbagi ke dalam tiga kelompok dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Kelompokpertama mengklaim bahwa agama merupakan kekuatan konservatif yang menghambat perubahan sosial dan politik, yakni modernisasi politik. Kelompok kedua mengklaim bahwa signifikansi agama dalam politik merosot ketika proses modernisasi berlangsung. Kelompok ketiga percaya bahwa agama, paling tidak, secara tidak langsung, memberikan sumbangan pada proses modernisasi politik.
Di masa lalu ilmuwan sosial memperlakukan agama sebagai sumber stabilitas politik. Agama dipercaya dapat memberikan justifikasi atau legitimasi supranatural atas ketidakadilan dalam amasyarakat. Dalam perspektif Marxian, misalnya, agama adalah “candu bagi masyarakat”, dalam pengertian bahwa ia membuat manusia tidak menyadari permasalahan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari dengan mengalihkan perhatian mereka dan kondisis yang ada ke sesuatu yang lain, yakni kehidupan khayali. Agama diyakini dapat mengalienasi masyarakat dari dunia ini. Dalam sebuah masyarakat yang adil karakter agama yang seperti ini cenderung menjadikan agama mendukung status quo, karena ketidakadilan ini secara metafisik dibenarkan. Dalam pengertian ini agama menghambat manusia untuk terlibat dalkam politik. Perspektif Marxian ini menawarkan cara pandang yang sama dengan teori modernisasi dan pembangunan politik pada era 1960-an, dimana agama dianggap menghambat masyarakat untuk mengorientasikan diri mereka terhadap politik.
Para teoritikus modernisasi berpendapat bahwa modernisasi yang ditandai dengan diferensiasi sosial dan pembagian kerja dan rasionalisasi dalam masyarakat, menjadikan peran agama khusunya di bidang politik, merosot. Namun demikian, diferensiasi struktural tidak kemudian membuat agama kehilangan signifikansinya dalam politik. Karakter agama yang konpensatif, yang menjanjikan kehidupan lebih baik di kemudian hari, juga dapat ditransformasikan ke dalam sebuah “agama yang secara poitis mengaktifkan orang, ketika hal itu disuntukkan ke dalam semangat komunal, bukan perorangan. Agama diyakini memiliki kekuatan untuk membangun solidaritas sosial, menghasilkan rasa bermasyarakat (sense of community). Rasa bermasyarakat ini pada gilirannya berfungsi sebagai mediasi bagi itndakan kolektif yang sangat penting dalam demokrasi.
Para teoritikus modernisasi terakhir diwakili oleh Tocquevillle, ia menuls buku Democracy ini Amerika. Menurut Tocquevillle, bagi masyarakat Amerika, agama mampu membantu mereka untuk mengatasi masalah eksistensial, seperti rasa takut mati, karena agama menawarkan konsep keabadian dan harapan. Lebih lanjut Tocquevillle menjelaskan, ketika agama mendasarkan imperiumnya hanya diatas hasrat manusia akan keabadian yang melekat di hati mereka, maka agama dapat mengklaim universalitas (yang tak lekang oleh waktu dan tempat). Tetapi ketika agama ia berusaha untuk menyatu dengan dengan sebuah pemerintahan, ia harus mengadopsi sejumlah ketentuan yang dapat dipraktikkan hanya oleh keompok tertentu. Jadi ketika agama bersekutu dengan kekuatan politik, ia semakin berpengaruh terhadap suatu satu kelompok, tetapi kia kehilangan harapan untuk merengkuh semuayang lainnya.
Selanjutnya dalam pandangan Saiful Mujani bahwa pengalaman empiris tentang fundamentalisme, entah sebagai reaksi ataupun atas politik sekuler atau bukan, menunjukkan bahwa agama dapat mendorong para pemeluknya untuk bertindak secara politis, dan bukan absen dari politik. Ini bukanlah sebuah tingkah laku yang parokial, yang ditandai oleh tidak adanya orientasi terhadap sistem politik yang ada. Di Iran, Fundamentalisme telah berhasil merobohkan sebuah rezim yang tidak demokratis dan menggantinya dengan rezim baru yang juga tidak demokratis. Dan pada akhirnya, tindakan-tindakan politik yang mereka lakukan adalah dianggap sesuai dengan pengertian agama yang mereka yakini.
Penutup
Dari uraian diatas, walaupun terkesan singkat namun dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, dalam dunia politik, salah satu “institusi” yang memberikan legitimasi kepadanya adalah agama, karena transformasi nilai-nilai agama yang bersifat langsung maupun tidak ke dalam wilayah politik adalah terhitung signifikan, ini dikarenakan para pelaku politik tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan dan nilai-nilai agama yang telah dan tengah diemban, sehingga apa (baca: nilai-nilai agama) yang biasa dilakukan di luar wilayah politik akhirnya dapat berbaur ke dalam ranah politik, dan selanjutnya, dari transformasi nilai-nilai tersebut membentuk sebuah kekuatan.



Daftar Pustaka
Mujani, Saiful, MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, Cet. I
Smith, Donald Egene, Agama Dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis, (Jakarta: CV Rajawali), 1985, Cet. I

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=274&coid=1&caid=34