SELAMAT DATANG DI ALAM MAYA ALFIKAR...

Jumat, 02 Mei 2008

DILEMA KEKUASAAN

Oleh : Alfikar *)
Perangkat Negara Demokratis
Adalah Montesque seorang pria kelahiran Perancis yang memberikan gagasan tentang praktik demokrastisai, yaitu sebuah sistem negara yang dianggap ideal, karena didalam sistem tersebut secara tidak langsung rakyat bisa menentukan sendiri sebuah keputusan. Negara yang menganut paham demokrasi memiliki tiga perangkat pokok, yaitu Legislatif (Pembuat Undang-undang), Eksekutif (Pelaksana Undang-undang) dan Yudikatif (Penegak Undang-undang).
Indonesia Negara demokratis
Demokrasi merupakan salah satu isu global yang menghegemoni dunia internasional, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki badan legislatif yaitu DPR, eksekutifnya Presiden dan Yudikatifnya Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara prosedural Indonesia dianggap sebagai negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi di Indonesia memiliki beberapa jenis, dahulu pada masa rezim Soekarno ada demokrasi Liberal yang notabenenya kebebasan dalam berpolitik dan demokrasi terpimpin yang bisa dinilai juga dengan semi otoriter karena dalam demokrasi tersebut dikendalikan oleh satu orang saja yaitu Soekarno, kemudian pada masa kepemimpinan selanjutnya yakni pada saat tonggak kepemimpinan dipegang oleh rezim orde baru dalam hal ini adalah Soeharto, demokrasi mengalami degradasi yakni demokrasi pancasila dan kemudian dijadikan asas tunggal untuk semua lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Demokrasi ini sampai saat ini masih bertahan.
Walaupun pada saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai ”status” demokrasi di indonesia, ada yang mengatakan bahwa saat ini Indonesia masih dalam tahap transisi, konsolidasi dan lain sebagainya, namun yang jelas, pendapat tersebut mempunyai alasan dan kepentingan masing-masing.
Perang dingin eksekutif dan legislatif
Saat ini Indonesia sedang dilanda perkara yang dilematis, pada masa sebelum PEMILU 2004 yakni ketika legislatif (DPR dan DPRD) yang paling berkuasa, lembaga ini selalu mempermainkan lembaga eksekutif (Presiden, Gubernur dan Bupati), misalnya dengan ”memeras” lembaga eksekutif ketika akan melakukan proses laporan pertanggngjawaban dan ketika akan melakukan rencana kerja, otomatis demi untuk mendapatkan restu dari legislatif maka eksekutifpun harus menuruti semua keinginan para anggota legislatif, kecuali jika menghendaki lengser dari jabatan seperti halnya yang terjadi pada pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang dijatuhkan oleh para anggota legislatif, jika diterka bisa jadi pada saat itu Gusdur tidak mau manyuap para anggota legislatif. Keadaan ini mangakibatkan rmuncul dan tumbuh suburnya ”raja-raja kecil” yang mendapatkan upeti dari para eksekutif. Secara otomatis keadaan ini memaksa eksekutif untuk melakukan tindakan yang mampu mengembalikan semua hak-haknya yang telah dirampas oleh legislatif, sehungga tindakan KKN (Kolusi korupsi dan Nepotisme) di kalangan eksekutif tidak dapat dihindari dan bahkan semakin merajalela.
Ketika PEMILU 2004, terjadi perbedaan yang signifikan dari PEMILU sebelumnya, diantaranya adalah lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat, untuk anggota legislatif jika kurang dari standar jumlah suara, maka suara dari partai diakumulasi dan jika pas atau melebihi standar suara maka yang mendapatkan kursi di legislatif adalah mereka yang mendapatkan nomor urut paling atas, kemudian adanya pencoblosan lembaga DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang jadi ”saingan” legislatif di parlemen. Pada saat ini ”status” legislatif dan eksekutif seimbang, bisa dikatakan seimbang karena eksekutif tidak lagi bisa dipermainkan oleh legislatif, alasannya adalah eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya pemillihan semacam ini diharapkan para anggota legislatif tidak bisa lagi mempermainkan eksekutif. Namun sayangnya, keadaan ini malah membuat para eksekutif tidak lagi menakuti akan ancaman dan tuntutan dari legislatif sehingga memunculkan pemerintahan yang semi-otoriter karena para Eksekutif tidak bisa lagi dilengserkan oleh legislatif seperti masa sebelumnya, dan juga tidak bisa dijatuhkan langsung oleh rakyat, padahal di negara Eropa yang menganut sistem demokrasi mengenal yang dinamakan dengan impeachment, yakni proses kudeta, kudeta bisa dilakukan dengan syarat memperoleh 2/3 suara pemilih. Di Indonesia beda, eksekutif hanya bisa mengakhiri jabatan pada PEMILU berikutnya.
Dengan demikian, ketika legislatif menguasai eksekutif, dengan mudah mereka mempermainkan eksekutif dan memperoleh banyak upeti dari eksekutif, dan ketika posisi legislatif setara dengan eksekutif, mereka tidak lagi peduli dengan ancaman legislatif dan akhirnya memunculkan pemerintahan yang semi otoriter.
Akankah Indonesia terus-terusan seperti ini?
*) Mahasiswa UIN Jakarta-
Koordinatoor FS-M@kar-
Sekjend KEMBANG JAYA
(Keluarga Mahasiswa Kabupaten Subang Jakarta Raya)